Kamis, 16 Juni 2011

Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana

Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.
Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”
Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik napas panjang.
Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.
Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.
Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.
Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar minggu ini.
Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.
”Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaranku lewat Diah.
”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.
Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.
Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku.
Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.
”Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.
Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.
Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu.
Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.
”Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.
Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?
Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?
Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.
Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.
Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’ tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.
Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Lewat kata yang tak sempat disampaikan
Awan kepada air yang menjadikannya tiada
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu. *

Selasa, 14 Juni 2011

Ruang Pertemuan Tuhan (Penetrasi Ruang Spiritual)

Suatu kesempatan Nietzsce pernah mengungkapkan suatu ungkapan “Tuhan telah mati, kita telah membunuhNya” (Hardiman, 2003:1).
Di era ini, kegagalan demi kegagalan dalam menikmati religiusitas semakin merajalela. Kondisi hidup yang terasa semakin berbeban seakan memaksa kita untuk “membunuh tuhan”. Tuhan mati di dalam kehidupan kita. Realitas kita menenggelamkan eksistensiNya. Entitas dan kesadaran berada kita semakin melunturkan “keberadaanNya”. Entah itu terjadi di dalam kehidupan seorang Muslim, Kristiani, ataukah agama lain. Lalu apakah sebenarnya religiusitas yang senantiasa dilakoni sehari-hari? Islam dengan shalatnya, Kristiani dengan ibadahnya, semua itu hanyalah rutinitas semata-mata. Demikian yang terjadi karena segala pelaksanaan itu tidak terjadi dalam “Ruang Spiritual” kita, itu hanya terjadi di dalam “Ruang Realitas” kita, bahwa “Inilah realitasnya.... Aku seorang yang beragama”.
Kecenderungan bersikap dualistik terhadap dimensi alam-nyata dan ghaib-adalah suatu faktor yang menyebabkan “tuhan terbunuh”. Bersikap dualistik yang kami maksudkan disini adalah berprinsip bahwa kita berada dalam alam riil dan Tuhan berada dalam dimensi yang lain; berprinsip bahwa hanya akan bertemu dengan Tuhan jika sudah melewati kematian, sehingga saat ini Tuhan seakan tidak hadir dalam keseharian kita. Yang hadir dan terlibat dalam keseharian kita malah kebisingan nurani, kecemasan, ketakutan, kebahagiaan, keterpaksaan dan rutinitas yang menyerupai lingkaran tak berujung. Adakah Tuhan? Siapakah Dia? Dimanakah berada? Pertanyaan-pertanyaan ini bisa berakibat fatal bagi yang salah menjawabnya. Betapa tidak? Kitab suci bisa menjawabnya “Dialah yang memberi dan mengabulkan do’a”, tetapi do’aku tidak pernah terkabulkan?, “Dialah yang maha memberikan rejeki”, tetapi aku selalu dalam keadaan melarat, “Dialah yang menguasai dan menggerakkan semesta”, lalu dimanakah Dia? Kondisi yang seperti ini bisa menjerumuskan penanya dan tertanya ke dalam lembah kekecewaan paling dalam terhadap Tuhan.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda yang maknanya “Suatu kelak nanti, agama hanya menjadi simbol, rumah ibadah hanya menjadi bangunan, kitab suci hanya menjadi buku-buku...”, hal ini mengisyaratkan kondisi dimana tuhan “benar-benar hilang”. Keyakinan terhadap kebenaran kitab suci mulai luntur, dan akhirnya agama beserta sejarahnya menjadi sebuah mitos panjang.
Hal-hal ini terjadi karena tiap-tiap pribadi mencari Tuhan “tidak pada tempatnya”. Apakah Tuhan bertempat? Tuhan tidak bertempat, tetapi pencarian Tuhan ada tempatnya. Suatu ruang khusus dimana manusia difasilitasi untuk dapat hadir bersama-sama Dia, yaitu “Ruang Spiritual”.
Di dalam ruang ini, manusia berbincang dengan Tuhan seperti berbincang dengan Tuhan (Tidak dapat diperumpamakan bertemu dengan Tuhan seperti bertemu dengan entitas yang lain selain Dia). Tuhan berwujud sebagaimana wujudNya, yang tidak tergambarkan, tidak terpikirkan,. “Ruang Spiritual” bukan kelas untuk belajar, bukan kelas untuk berpikir; tempat untuk berpikir adalah “Ruang Intelektual”, dimana logika dan rasio menjadi raja. Tetapi di dalam “Ruang Spiritual”, logika dan rasio hanya akan menjadi “penonton yang tertidur”, setelah terjaga, ada kesadaran “bertemu Tuhan”, namun tak bisa memikirkan bahkan membayangkan wujud Tuhan. Seperti pepatah sufi “Man lam yazuq lam ya’rif”, “Barangsiapa yang tidak mengalaminya atau merasakannya, maka tidak akan pernah memahaminya”.
Dalam risalah ini, kami akan menyuguhkan segelintir ide mengenai Tokoh di balik segala bentuk eksistensi ini. Pikiran ini tidak akan mungkin menjelaskan pertemuan ataukah letak “Ruang Pertemuan” itu, melainkan memikirkan perbuatanNya terhadap segala entitas berdasar pada kodratNya, iradatNya, sehingga ada suatu pengetahuan intelektual dan logis mengenai siapakah yang ditemui dan bagaimanakah kita memahamiNya.

TUHAN; Ada dan Diadakan

Ide mengenai Tuhan tumbuh sekitar 14.000 tahun yang lalu di dunia kuno Timur Tengah. Ketika keilmiahan bukan suatu ukuran kebenaran, realitas bukanlah suatu fenomena melainkan suatu keajaiban, ketika naluri dan emosi menjadi mata dan telinga, bahkan akal menuruti emosi dan naluri.
Masyarakat kuno meyakini bahwa ‘ADA’ yang sedang mengawasi, mengatur, menghukum dan memberikan. Keyakinan ini kemudian direalisasikan dalam berbagai bentuk curahan hasrat, pemujaan, singkatnya adalah ritual kuno. Ritual kuno adalah sarana untuk mengekspresikan keyakinan mereka mengenai Tuhan.
Perasaan bahwa ‘ADA’ sedang mengawasi melahirkan suatu keinginan untuk bertemu dengan Sang Ada itu. Masyarakat tersebut mencari ke empat penjuru bumi, menggali bumi, menyelami dasar lautan, namun tak menemukan sang ‘ADA’. Hanya satu arah saja yang tak dapa ditempuh, yaitu langit. Tuhan kemudian diyakini bersemayam dilangit, yang berkonotasi pada ketinggian, ketaktersentuhan, keluhuran, dan ketaktergambaran. Tuhan tak pernah turun untuk bertemu dengan mereka, tak pernah tampil dalam wujudNya yang dapat digambarkan oleh ingatan, dan akhirnya tuhan ini tergantikan oleh tuhan-tuhan yang lebih mudah dijangkau (Armstrong, 2004:27) atau berhalanya para Paganis. Sebenarnya, dorongan emosi atau desakan naluri bertuhanlah yang memaksa para manusia kuno untuk menyembah tuhan-tuhan yang mereka ciptakan itu. Dalam kondisi ini, tuhan seolah-olah Ada juga Diadakan.
Masyarakat kuno pada saat itu “meyakini” bahwa “ADA yang mengawasi”. Makna “ADA” dikenal karena hadir, terindrai, tergambarkan. Lalu berasal dari manakah “ADA” yang tidak riil ini? Kecurigaan mungkin suatu alasan, namun keyakinan bukanlah sekedar hasil mengira-ngira, karena jujur atau tidak, ide mengenai Tuhan (baik monoteisme maupun politeisme) yang hidup hingga saat ini, berasal dari “Naluri Bertuhan”nya para primitif ini. Sehingga jika kita mengatakan bahwa ide mengenai Tuhan berasal dari kecurigaan “mungkin ada yang mengatur semesta”, maka kita harus rela bahwa tuhan yang kita yakini ini semata-mata hasil kreatifitas masyarakat zaman kuno.
Plato merumuskan suatu konsep bahwa segala sesuatu ada penyebab awalnya, penggerak utama, atau yang disebutnya Kausa-Prima. Jika Kausa-Prima adalah penggerak, maka dia bergerak. Jika yang bergerak senantiasa digerakkan, maka siapakah yang menggerakkan Kausa-Prima? Kausa-Prima tidak lain hanyalah “jalan buntu” yang ditemukan oleh Plato karena ketidaksanggupan akalnya untuk menalari eksistensi Tuhan. Sebagian orang berkata bahwa alam semesta merupakan bukti keberadaan Tuhan, namun mereka yang berkata seperti itu juga dalam kesehariannya menyaksikan ayam bertelur, tunas berkembang, kambing beranak, seolah-olah alam yang sudah ada yang menciptakan entitas alam yang kemudian (biogenesis), dan jika alam ini ada yang menciptakan, maka siapakah yang menciptakan Tuhan? Kendati ini adalah pertanyaan kafir, namun pencarian kebenaran harus melewati setapak-setapak kritis.
Satu hal yang senantiasa dilupakan oleh banyak orang, termasuk Karen Armstrong pencipta The History of God (Sejarah Tuhan), adalah bahwa mereka terlalu egois. Mereka hanya menyadari keberadaan dan kondisi “pikirannya”, mereka menganggap bahwa mereka yang menguasai pikiran, mengendalikan pikiran, dan mereka takut untuk menyadari bahwa “pikiran juga dikendalikan oleh keterbatasannya sendiri”.
Dalam buku Sejarah Tuhannya, Karen Armstrong mengeksploitasi segenap pengetahuannya mengenai Tuhan orang Muslim, Kristen, Yahudi, Mistikus, Filosof dan para Reformis. Armstrong berbicara panjang lebar mengenai ide tentang Tuhan bagi orang lain, tanpa memperdulikan idenya sendiri mengenai Tuhan yang mengadakannya. Dia tidak berhasil menemukan Tuhan karena dia berharap bertemu denganNya di dalam gereja dan biara, atau dipertemukan oleh orang lain yang sama lemahnya, yang juga belum pernah bertemu dengan Tuhannya sendiri. Armstrong berimpian dapat mengalami pertemuan dengan Tuhan sebagaimana yang dialami para nabi dan rasul, sebagaimana diceritakan dalam riwayat-riwayat.
Para nabi dan rasul pada dasarnya bertemu dengan Tuhan sebagaimana yang diceritakan, karena posisi dan kapasitas mereka adalah sebagai “utusan”. Manusia lain yang bukan “utusan” akan memiliki skala prioritas di hadapan Tuhan secara berbeda. Namun hal ini bukan berarti bahwa Tuhan tidak dapat ditemui, melainkan ada ruang khusus dimana Tuhan mau menerima kita. Dan pertemuan itulah yang akan memahamkan kepada kita, bahwa sesungguhnya Tuhan memang ada. Ada tidak harus memiliki wujud materi, sedangkan akal pikiran sendiri yang mengelola ilmu pun tidak memiliki wujud materi. Namun bukan berarti bahwa akal dan pikiran itu tidak ada, melainkan dialah yang mengkonfirmasikan kepada kita akan keberadaan suatu entitas. Maka sesungguhnya “Ada” berada di antara dua pengertian, “Ada secara mutlak dalam dirinya atau keadaannya sendiri”, dan “Ada sebagai hasil konfirmasi akal pikiran kita”. Dengan kata lain, segala entitas ini Ada dan Diadakan.
Kita harus berani menerima kemungkinan bahwa Tuhan memang Ada dalam realitasNya, dan wujudNya memang tak terwujud sebagaimana yang kita inginkan. Kemudian kita menginginkan agar Dia mewujud dalam cara yang kita inginkan, dalam kebiasaan kita mencerapi wujud entitas lain, dan jika dia mewujud sesuai keinginan kita barulah kita akui bahwa Dia ada. Ini suatu kesalahan, karena segala sesuatu termasuk Tuhan “berada” dalam suatu ruang menuruti “cara beradanya” masing-masing, kitalah yang mengamatinya berdasarkan sudut pandang dan pendekatan kita masing-masing. Intinya adalah bahwa Tuhan Ada dan setelah Dia Ada, manusia dengan kesadarannya berupaya memahamiNya, sehingga Dia Diadakan. Dia Ada sesuai dengan realitasnya dan manusia memahaminya sesuai dengan ego dan kebiasaannya masing-masing, sehingga Dia yang Diadakan bukanlah sepenuhnya Dia yang Ada. Apakah manusia dapat mengawasi Dia sesuai dengan realitasNya sendiri? Sesungguhnya manusia mampu melakukan itu, namun manusia terlanjur egois dan memaksa Tuhan “untuk berada” seperti yang manusia itu inginkan. Jika manusia ingin Tuhan “berada” sesuai dengan kebiasaannya mengamati realitas entitas yang lain, maka sesungguhnya Tuhan tidak berbeda dengan makhluk, yang hadir bukanlah Tuhan. Dan tentu saja, ide bahwa dunia dan kehidupan ini tidak bertuhan adalah ide yang paling tidak cerdas, karena jika Tuhan itu tidak ada, maka akal pikiran kita pun pada hakikatnya tidak ada.
Tuhan adalah dzat mulia, yang sedang kita wacanakan saat ini adalah ketokohanNya, eksistensiNya, bukan derajatNya yang tak tertandingi. “Ada” bagi Tuhan adalah realitasNya sendiri, namun “AdaNya” bagi kita masih merupakan hasil pemikiran kita sendiri, hasil pemikiran kita mengenai fenomena. Menurut Martin Heidegger, “Kita cenderung menafsirkan fenomena yang kita awasi, sehingga fenomena itu tidak terlihat atau tidak menampakkan diri apa adanya” (Heidegger via Hardiman, 2003:21). Fenomena yang senantiasa terjadi ditafsirkan sesuai dengan kultur berpikir kita, yang didik secara akademis, dan hanya mau menerima hal-hal yang dapat dibuktikan secara teoretis dan fisis. Kita menafsirkan suatu gejala emosi seperti rindu pada iman, sebagai suatu gejala psikologis yang termanipulasi oleh kebutuhan-kebutuhan emosi dan kita tidak mau menerima itu sebagai gejala transendental, menyembulnya aspek spiritual kita kepermukaan kesadaran kita. Karena kita didik untuk “tidak percaya” pada”hal ghaib”. Atau malah kita memisahkan alam ghaib dengan alam nyata, kita tak sadar dan tak akui bahwa ghaib dan nyata adalah berdampingan, bahkan saling mengisi. Hematnya, kita tak pernah memberikan kesempatan kepada suatu fenomena untuk hadir apa adanya, kita selalu memolesnya dengan pikiran kita, yang terbatas kemampuannya. Edmun Husserl memberikan saran kepada kita agar menjadi “pemula”, membiarkan fenomena itu nampak apa adanya, sesuai dengan kebiasaannya (Fenomenologi Husserl). Mengapa kita tidak membiarkan Tuhan hadir dan berada dalam kehidupan kita sesuai dengan kebiasaanNya, biarkan fenomena kehadiran Tuhan hadir “apa adanya”, tanpa ada spekulasi pemikiran kita sendiri, sehingga Tuhan benar-benar “Ada” sebagai realitas, temuilah Dia dalam ruang spiritual kita masing-masing.   

Trinitas

Trinitas (trinity) merupakan konsep ketuhanan dalam agama Kristen yang mengakui bahwa Allah adalah Tuhan mutlak, Roh Kudus sebagai kesucian tertinggi dan Yesus sebagai anak Tuhan, atau sering disebut juga Tuhan anak.
Dalam pandangan kekristenan, Yesus merupakan ide Tuhan (logos) yang telah menjadi manusia. Maksudnya adalah Yesus tercipta dari kalam Tuhan, sehingga dianggap sebagai titisan atau memiliki bawaan Tuhan. Yang dimaksud dengan logos adalah instrumen yang digunakan oleh Tuhan untuk membuat segala ciptaan menjadi ada (Armstrong, 2004:158). Jika memang demikian, maka logos atau instrumen itu (kalam Tuhan “kun”) itu secara esensial berbeda dengan Tuhan, sehingga yang tecipta dari logos tidak serta-merta berstatus Tuhan. Pemikiran Kristen bahwa Yesus itu adalah logos itu sendiri, bukan lagi tercipta dari logos, akan tetapi “firman yang telah menjadi daging”. Pemikiran ini pasti terilhami dari salah satu ayat dalam injil Yohanes ayat 1 pasal 1 sampai 18, dibawah ini hanyalah sebagiannya saja:
Firman yang telah menjadi manusia
Pada mulanya adalah firman, firman bersama-sama dengan Allah dan firman adalah Allah...., Ia telah ada di dalam dunia tetapi dunia tidak mengenalNya...., Semua orang yang menerimaNya diberiNya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam namaNya..., Orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah..., Firman itu telah menjadi manusia..., ...”
Firman itulah yang disebut sebagai logos, dan keyakinan bahwa Yesus adalah logos yang telah menjadi manusia inilah yang mendorong pemahaman bahwa Yesus adalah Juru Selamat.
Berdasarkan sejarah, Ketuhanan Yesus pertama kali menjadi ideologi pada tahun 320, dimana Athanasius yang adalah asisten briliannya Aleksander berideologi bahwa Yesus adalah putra Tuhan  dan Juru Selamat bagi mereka. Pada saat itu, Athanasius berhadapan dengan seorang gerejawan yang bernama Arius. Arius tidak menyangkal “keilahian” Yesus, namun bagi Arius, Yesus bukanlah Tuhan dalam arti penuh, tidak mungkin Yesus yang adalah manusia dalam cara yang sama menjadi Tuhan yang setara dengan Allah (Armstrong, 2004:155). Bagi Arius, Yesus adalah teladan bagi manusia, dia adalah perintis jalan keselamatan. Dia telah patuh kepada Allah dan karena kepatuhannya dia hingga mati di kayu salib, sehingga derajatnya ditinggikan dan diberikan gelar “tuhan”. Namun bukan Tuhan seutuhnya seperti Allah, namun Tuhan dalam arti memiliki sifat “keilahian”, dan hal itu, menurut Arius, bisa dicapai oleh siapapun yang mau taat dan patuh kepada Allah. Jika Yesus bukan manusia, maka pupuslah harapan Kristen untuk meneladani Yesus, karena tidak ada manusia yang dapat meneladani Tuhan secara hakiki.
Athanasius pesimis terhadap kapasitas manusia di hadapan Tuhan, secara inheren manusia adalah rapuh dan jika manusia itu berdosa, maka akan kembali ke ketiadaan. Dan karena Yesus merupakan “logos Tuhan”, maka dia tidak setara dengan manusia, namun setara dengan Tuhan, dan dengan berkatNya seluruh manusia yang mengikutinya terbebas dari dosa dan tidak kembali tiada (Armstrong, 2004:159).
Ideologi ini kemudian dilengkapi oleh pihak ketiga yakni Roh Kudus, yang merealisir logos tersebut menjadi manusia. Roh Kudus atau Jibril diyakini sebagai kekuatan yang dapat mengembalikan kesucian dan atau jika merasuki seseorang maka orang tersebut akan diberkati. Mengenai Roh Kudus (Roh Suci) ini digambarkan dalam injil dapat merasuki orang-orang pilihan, diantaranya adalah dalam injil Kisah Para Rasul pasal 1, 6; Lukas pasal 1 ayat 14, dan lain-lain.
Pertarungan ideologi antara Arius dan Athanasius ini berlanjut hingga pada tahun 325 para uskup berkumpul di Nicaea untuk membicarakan hal ini. Rapat para uskup ini melahirkan doktrin bahwa “Yesus tercipta dari ketiadaan” (creatio ex nihilo), sang Pencipta dan Penebus adalah satu. Hal ini masih menjadi sumber kebingungan masyarakat Kristen, mereka masih bertanya-tanya, jika Tuhan adalah satu, bagaimana bisa logos itu juga menjadi Tuhan? Maka datanglah tiga orang teolog terkemuka asal Turki Timur, ketiga teolog ini sangat suka berspekulasi dan dasar pemikiran mereka adalah filsafat Yunani. Mereka mengembangkan formula Athanasius bahwa Tuhan memiliki satu esensi yang tidak dapat dipahami, namun tiga bentuk ekspresi yang membuatNya dapat diketahui.
Rumusan tritunggal ini pun, yang dilabeli tiga istilah ‘Bapa-Putra-Roh Kudus’, hanya merupakan simbol, karena menjelaskan realitas yang tak terucap. Ketiga ini merupakan kilasan parsial yang tak utuh dari hakikat ilahi. Tuhan menurut tiga teolog ini jauh dari pemikiran, tak terjangkau dan tak terpahami. Namun Dia membiarkan diriNya diketahui dengan aktivitasNya, seperti contoh, ekspresi senyum menandakan suasana hati dan pikiran yang tak terucapkan. Tuhan Allah mengekspresikan “adaNya” melalui aktivitasNya terhadap makhluk, agar makhluk dapat mengetahui “adaNya”. Namun aktivitas Tuhan bukanlah Tuhan itu sendiri, hanyalah ekspresi yang mengakibatkan Dia diketahui ada.
Setiap simbol mewakili makna, dan makna setiap simbol mutlak ditentukan oleh kesepakatan pengguna simbol tersebut (teori Semiotika). Secara simbolik, makna trinitas ditentukan oleh kaum Kristiani, namun meskipun demikian, terjadi juga kesalahpahaman antara para pengguna simbol ini. Adalah keliru jika Trinitas diartikan sebagai keterpisahan Tuhan, atau Tuhan mewujudkan diri dalam tiga persona, ini sebuah penghujatan. Keliru juga jika berpandangan bahwa ketiga persona itu merupakan aktualisasi dari Tuhan yang satu. Yang mungkin bisa diterima adalah bahwa Tuhan mengungkapkan dirinya secara penuh dan utuh dalam masing-masing dari ketiga manifestasi ini ketika Dia ingin mewahyukan diri ke dalam dunia (Armstrong, 2004:167). Seperti nafas yang mengikuti kata-kata yang keluar dari mulut kita beserta makna-maknanya. Selanjutnya Armstrong mencontohkan bahwa filsafat dan kedokteran memang disiplin ilmu yang berbeda, tetapi keduanya tidak menempati kawasan kesadaran yang terpisah, mereka berbeda namun saling melingkupi satu sama lain, mengisi seluruh kawasan pikiran, menjadikannya utuh, namun mereka tetap berbeda.
Doktrin ini begitu paradoksal dan rumit, dan dapatkah manusia memahami Tuhan dengan rasionalisasi sedemikian rupa? Tentu saja tidak sepenuhnya benar, bahkan menurut Marx, rasionalisasi merupakan suatu proses distorsi makna-makna realitas (Fromm, 2004:27-28). Ketika seseorang berpikir untuk mengungkap makna dan memahami suatu realitas, suatu fenomena, secara tidak langsung telah mengurangi, menambahkan dan atau mengubah makna hakiki fenomena tersebut, karena pada dasarnya manusia memikirkan sesuatu selalu cenderung pada kultur berpikirnya. Di jaman kuno, kultur berpikir manusia berifat metafisis sedangkan di jaman pertengahan, kultur berpikirnya bersifat teologis dan akhirnya di jaman modern kultur berpikir manusia adalah logis dan rasional, yang dalam istilah Comte memasuki tahap positif.
Ketika makna Tuhan sebagai realitas coba dipikirkan, maka manusia yang memikirkan itu telah mendistori makna hakiki Tuhan itu sendiri, sehingga jika manusia tersebut ingin memahami Tuhan secara substansial, maka berpikir bukan jalan yangg dianjurkan. Bersesuaian dengan ini, Aristoteles pernah berteori bahwa manusia mendatangi persoalan agama (termasuk mengenai eksistensi Tuhan) bukan untuk mempelajari (mathein), melainkan untuk mengalami (pathein). Pertanyaannya adalah mungkinkah manusia mengalami Tuhan? Jika realitas Tuhan hanya dapat dipahami dengan mengalaminya, maka jawabannya tentu saja “YA”. Seperti air laut yang bisa dipahami dengan cara mencicipinya, pikiran tidak dapat menjelaskan air laut, hanya dapat dijelaskan oleh apa yang dirasakan di lidah, seperti Tuhan yang tak dapat dipikirkan karena tidak terjangkau oleh rasio, dan hanya dapat diterima secara mistis. Sesuai dengan konklusi yang diajukan oleh Armstrong “Pada akhirnya, Trinitas hanya dapat dipahami sebagai sebuah pengalaman mistik atau spiritual; ia harus dialami, bukan dipikirkan, karena Tuhan berada jauh diluar konsep manusia. Ia bukanlah sebuah rumusan logis atau intelektual” (Armstrong, 2004:167-168).   

Trimurti

Trimurti adalah konsep ketuhanan yang dianut oleh kaum Hindu. Berdasarkan arti katanya, Trimurti berarti “memiliki tiga bentuk”. Trimurti adalah penggambaran tiga dewa yang diyakini sebagai pencipta, penguasa, penjaga dan penghancur semesta. Ketiga dewa ini adalah Brahma, Siwa dan Wisnu.
Brahma diyakini sebagai The Supreme Being, “Ada yang Tertinggi”. Brahma adalah dewa yang menciptakan alam semesta. Namun agak bergeser dari makna pencipta bagi doktrin lain, Allah menciptakan alam sebagai “Allah sang Pencipta”, dan kelak menghancurkan semesta sebagai “Allah sang Pengakhir”. Meskipun berbeda dalam perilaku, namun satu dalam pelaku.
Brahma menciptakan dunia sebagai Brahma, dia adalah tuhan, namun ketika dia menjaga semesta, maka dewa atau tuhan yang melakukannya bukan Brahma, namun Wisnu, dan ketika menghancurkan semesta maka dia adalah Siwa. Sehingga Trimurti adalah “tiga kepribadian atau tiga persona dalam satu status tuhan”. Flood menyebutkan bahwa Siwa adalah dewa yang bersifat oposisi, meskipun Siwa disebut juga sebagai “The Desotroyer”, namun dalam riwayat lain Siwa juga disebut “Sang Penyuci”, maksudnya adalah nama Siwa digunakan untuk menyucikan orang yang meyakininya. Sementara Wisnu disebut sebagai dewa yang mengatur dan menjaga semesta. Wisnu juga diartikan sebagai berikut Wis=mengatasi Nu=meliputi segala sesuatu. Sehingga Wisnu dapat diterjemahkan secara sederhana sebagai dewa yang mengatasi persoalan dunia dan manusia serta meliputi segala sesuatu.
Berdasarkan budaya Hindu dalam memahami Dewa mereka diatas maka dapat disimpulkan bahwa Trimurti atau Tiga Dewa (Brahma, Siwa dan Wisnu) adalah persona-persona yang berstatus Tuhan dengan fungsi yang berbeda-beda. Hindu meyakini tuhan-tuhan mereka memiliki fungsi dan aktivitas yang berbeda-beda, dan mereka mengenal Dewa atau Tuhan mereka berdasarkan fungsi mereka. Sehingga setiap fenomena alamiah dapat disimpulkan oleh mereka sebaga suatu ekspresi keberadaan Tuhan mereka. Aktifitas Tuhan yang berimbas pada semesta merupakan indikator bahwa Tuhan sedang berada atau terlibat dalam kehidupan mereka.
Seorang penyair bernama John Stuart Blackie pernah menulis dua buah puisi dengan Judul “All Things are Full of God” dan “Trimurti”. Kedua puisinya ini menggambarkan betapa Blackie sangat yakin bahwa Tuhan merupakan entitas yang menyanggah segala eksistensi. Baik dalam puisi pertamanya maupun puisi kedua memiliki ide pokok yang sama, yakni Tuhan ada dibalik segala sesuatu.
Demikian puisinya:
ALL THINGS ARE FULL OF GOD
By: John Stuart Blackie (1809-1895)
All things are full of God. Thus spoke
Wise Thales in the days
When subtle Greece to thought awoke
And soared in lofty ways.
And now what wisdom have we more?
No sage divining-rod
Hath taught than this a deeper lore,
All things are full of god.  
The Light that gloweth in the sky
And shimmers in the sea,
That quivers in the painted fly
And gems the pictured lea,
The million hues of Heaven above
And Earth below are one,
And every lightful eye doth love
The primal light, the Sun.
 
Even so, all vital virtue flows
From life’s first fountain, God;
And he who feels, and he who knows,
Doth feel and know from God.
As fishes swim in briny sea,
As fowl do float in air,
From Thy embrace we cannot flee;
We breathe, and Thou art there.
 
Go, take thy glass, astronomer,
And all the girth survey
Of sphere harmonious linked to sphere,
In endless bright array.
All that far-reaching Science there
Can measure with her rod,
All powers, all laws, are but the fair
Embodied thoughts of God.

TRIMURTI
By: John Stuart Blackie (1809-1895)
Trimurti, Trimurti,
Despise not the name;
Think and know
Before thou blame!
Look upon the face of Nature
In the flush of June;
BRAHMA is the great Creator,
Life is Brahma’s boon.
Dost thou hear the zephyr blowing?
That is Brahma’s breath,
Vital breath, live virtue showing
’Neath the ribs of death.
Dost thou see the fountain flowing?
That is Brahma’s blood,
Lucid blood--the same is glowing
In the purpling bud.
Brahma’s Eyes look forth divining
From the welkin’s brow,
Full bright eyes--the same are shining
In the sacred cow.
Air, and Fire, and running River,
And the procreant clod,
Are but faces changing ever
Of one changeless God.
When thy wingèd thought ascendeth
Where high thoughts are free,
This is Brahma when he lendeth
Half the God to thee.
Brahma is the great Creator,
Life a mystic drama;
Heaven, and Earth, and living Nature
Are but masks of Brahma
Puisi merupakan ekspresi seseorang yang paling pribadi. Bahasa yang digunakan sangat simbolis dan semiotis. Makna puisi tersirat dalam majas-majas yang digunakan oleh penulis puisi tersebut. Dalam dua puisi diatas, Blackie, terutama dalam puisi pertamanya, dia berkeyakinan bahwa Tuhan memenuhi segala sesuatu. Makna memenuhi disini dapat dikatakan “Ada sebelum, beserta dan sesudah” sesuatu itu. Sehingga sesuatu itu seolah dipenuhi oleh Tuhan.
Blackie menggunakan kalimat “We breath and thou art there”, serta “All powers, all laws, are but the fair. Embodied thoughts of God”. Menandakan bahwa Blackie merasakan Tuhan hadir dalam dirinya dan segala kekuatan serta hukum merupakan organisasi perencanaan Tuhan.
Segala hal seakan tidak bergerak dan tidak diam tanpa Tuhan. Dalam pandangannya ini, Blackie manganggap Tuhan “Maha Merasa” dan “Maha Mengetahui”, tak ada celah bagi kealpaan Tuhan berada. Blackie menggambarkan kesempuraan Tuhan, namun perlu diingat bahwa Blackie memahami Tuhan berdasarkan perbuatan Tuhan, bukan karena penampakan Tuhan, yang tidak terucapkan itu.
Keyakinannya ini menguat dalam puisi berikutnya, yaitu Trimurti. Satu hal yang terlihat ganjil dan kurang memuaskan adalah perwakilan identitas Tuhan yang digunakan oleh Blackie untuk menggambarkan pandangannya terhadap Tuhan dan PerbuatanNya. Sebagai seorang Kristiani, Blackie telah menggunakan atribut ketuhanan Hindu untuk mengekspresikan pemahamannya mengenai Tuhan. Kelihatannya Blackie memang memandang Tuhan adalah tokoh yang memiliki banyak nama, baik Hindu, Budha, Kristen maupun Islam menyebut Tuhan yang satu dengan sebutan yang banyak. Namun jika menyangkut dengan egoisme akidah, sepertinya hal ini harus dihindari.
Mengapa harus dihindari, karena akan merusak keimanan masing-masing. Blackie mencoba untuk menjelaskan Tuhan dan semesta dalam pandangan kehinduan. Jika Blackie menganggap bahwa Tuhan Kristen dan Tuhan Hindu adalah berbeda, maka rusaklah keimanan Blakie. Rasa ketidakpercayaan dan keterpaksaan saling berintegrasi dan lahirlah suatu paradigma bahwa Tuhan ini adalah dogma yang penuh dengan kebohongan. Namun jika Blackie beranggapan bahwa Tuhan hanyalah Tuhan yang satu, namun ideologi dan konsepsi ketuhanan saja yang bervariasi, maka sesungguhnya Blackie telah melakukan suatu hal yang sangat bijaksana. Betapa tidak? Dengan adanya perbuatan ini maka hati seluruh pemeluk agama akan disatukan dalam kedamaian dan dapat mencegah terjadinya bentrok dengan isu religi.
Lihatlah, Blackie menulis bahwa kehidupan ini adalah hadiah dari Brahma, air terjun adalah darah Brahma, bahkan langit dan bumi merupakan topeng-topeng dari Brahma. Dengan kata lain, alam semesta adalah penampakan-penampakan Brahma dalam bentuk yang lain, atau Brahma telah mewujudkan diri sebagai, sebelum, beserta dan sesudah semesta.
Personifikasi yang digunakan oleh Blackie ini sangat berhubungan dengan doktrin Trinitas mengenai Allah mewahyukan diri ke dalam dunia melalui Yesus. Dimana Allah ingin diketahui, maka Dia melakukan hal yang menyebabkan Dia dicurigai, dicari dan diketahui “ADA”.
Dalam Trimurti, Blackie menyebut Brahma sebagai The Great Creator, Pencipta yang Agung. Dalam Trimurti terdapat tiga persona, namun dalam puisi ini, Blackie menyebut Brahma saja, bahkan Blackie menggunakan kalimat “Of one changeless God”, seolah-olah Brahma telah menenggelamkan citra dewa yang lain, yaitu Siwa dan Wisnu. Namun terlepas dari itu, umat Hindu sangat berpegang teguh kepada keyakinan mereka, seperti kita berpegang terhadap keyakinan kita.

Allah Islam Yang Maha Esa

Ummat Islam meyakini bahwa Tuhan senantiasa mengawasi dan mengatur segala sesuatu. Ketuhanan dalam Islam adalah ketuhanan tunggal, dan tak terbagikan. Dasar utamanya adalah dalam Alqur’an surat Al-Ikhlas ayat 1 “Katakanlah bahwa Allah Maha Esa”. Dasar ini diyakini ummat Islam sebagai Ajaran Tuhan kepada Muhammad, dimana Tuhan memperkenalkan diriNya kepada Muhammad sebagai satu-satunya Tuhan. Pernyataan ini menguat ketika Islam berpegang pada doktrin “La ilaha illallah”, Tiada Tuhan selain Allah.
Seluruh agama samawi terutama Kristen dan Islam menggunakan kata “Allah” untuk menyebut Tuhan. Pada awalnya, Tuhan dikenal dengan sebutan El (bahasa Aram). Hingga “perang antar tuhan” terjadi, Yahudi memperkenalkan Tuhan mereka “Yahweh”. Namun El, berkembang menjadi Elah, Elohim dan akhirnya Allah. Yesus menyebut Tuhan dengan sebutan Eli. Dalam pandangan ini, pada dasarnya Tuhan yang satu telah dikonsepkan sedemikian rupa, diperangkan dan akhirnya seperti pertarungan catur, manusia dan ideologi ketuhanannya berperang dan mempertahankan ideologinya atas nama Tuhan yang dia yakini.
Begitu juga Nabi Muhammad SAW yang datang untuk membumihanguskan pemberhalaan Uzza, Latta dan Manatta. Nabi Muhammad SAW datang untuk menggenapkan ajaran Yesus, karena ajaran Yesus telah mengalami perubahan-perubahan yang cukup berpengaruh pada kesucian ayat-ayat Tuhan (Al Qur’an surat Al-baqarah ayat 75).
Penuhanan terhadap Yesus merupakan pangkal diturunkannya ALQur’an. Dalam surat Alikhlas “Katakanlah bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan”. Namun nabi Muhammad SAW bukanlah seorang yang memahami ideologi Kristen, meskipun kerabatnya Waraqah adalah beragama Kristen. Tidak mungkin seorang yang buta huruf seperti beliau berhasil secara gemilang menyatukan suku-suku yang pada masa itu (jahiliyah) menganut sistem nyawa bayar nyawa dan terkurung dalam lingkaran kekerasan yang berkepanjangan. Keberhasilan Islam di masa dimana warga Arab pada saat itu dicap label bodoh, barbar dan tidak beruntung karena tidak memperoleh wahyu dari Tuhan, oleh para pedagang yang menganut agama Kristen dan Yahudi. Muhammad SAW yang sebelum menjadi nabi, dan bahkan dia tidak pernah berpikir akan menjadi seorang nabi, adalah seorang dermawan yang suka bersunyi diri di Gua Hira, dia sangat mementingkan masyarakat Arab yang sudah mengalami keruntuhan moral dan sudah berindikasi akan menjadikan uang dan kekerasan sebagai agama.
Kehidupan masyarakat Arab pada saat itu dan sebelumnya telah menyembah dewa-dewa pagan yang berhalanya diletakkan dalam Ka’bah, yang berada tepat di jantung kota Makkah. Namun para penyembah berhala itu tidak memiliki persepsi mengenai kehidupan setelah mati, mereka hanya memahami bahwa ada yang mengatur takdir mereka.
Wahyu pertama pun turun kepada Muhammad pada tahun 610 di gua Hira, tempat dimana nabi Muhammad SAW terbiasa bersunyi diri. Jangan mengira bahwa dia mengetahui bahwa yang dia alami adalah pewahyuan Tuhan, karena setelah pertama kali dia mengalaminya, dia bertanya kepada istrinya Khadijah bahwa apakah dia sudah gila (majnun), namun Khadijah menegaskan bahwa dia adalah orang yang sangat baik, dermawan dan sosialis. Tak puas dengan itu, Muhammad bertanya kepada sepupunya yang bernama Waraqah yang pada saat itu telah memahami dan memeluk Kristen. Tanpa ragu Waraqah berkesimpulan bahwa Muhammad telah menerima wahyu dari Tuhan Musa, Isa dan nabi yang lain; bahwa dia adalah utusan ilahi (Armstrong, 2004:194).
Ketidaktahuan Muhammad SAW dan kebutaannya mengenai apa yang tengah dialaminya merupakan bukti bahwa Tuhan berhak menentukan siapakah yang menjadi utusannya, tentunya dengan kriteria tertentu. Namun pengalaman ini mengajarkan kepada kita bahwa AlQur’an bukanlah ciptaan manusia, bahwa wahyu benar-benar diturunkan oleh Allah dan bahwa Tuhan itu bersifat Ada.
Inti ajaran pewahyuan pada Muhammad SAW (AlQur’an) adalah “Mengesakan Allah”. Meskipun mayoritas ayat-ayat AlQur’an menjelaskan mengenai hubungan horisontal antar-manusia, namun segala imbas ajaran Islam dalam AlQur’an adalah mengesakan Tuhan.
AlQur’an berisi Hukum, Kisah, Kabar Gembira dan Peringatan. Hukum mengatur hubungan horisontal antar-manusia dengan manusia dan alam dan hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan, serta hukum perbuatan yang menetapkan tapal batas haram dan halal; Kisah berisikan pemeran dan momentum penting yang menjadi landasan bagi Muhammad SAW menginterpretasi ajaran dan nasib kaum-kaum terdahulu beserta nabi mereka, Kabar Gembira dan Peringatan menjelaskan buah perbuatan dan peribadatan, yakni mengenai kenikmatan sorga dan siksa neraka.
Kendatipun doktrin AlQur’an berporos pada tauhid atau pengesaan Tuhan, namun ayat-ayat yang menyeru pada pengesaan itu seringkali terbatas pada perintah saja, sehingga pengenalan terhadap realitas ketuhanan itu masih terselimuti misteri, artinya bahwa sesempurna apapun AlQur’an, dia tidak menjelaskan bagaimana agar dapat memahami Tuhan secara logis (mathein).
Ajaran pentauhidan ini mengakar pada rukun pertama untuk menjadi seorang muslim, yakni persaksian bahwa Tidak Ada Tuhan Selain Allah; dan guna legalitas keislamannya lebih terjamin maka disempurnakan Muhammad adalah Utusan Allah, suatu aprofal atau pengakuan atas kebenaran Muhammad sebagai penerima wahyu.
Agama Islam yang diturunkan kepada Muhammad SAW tidak bertujuan untuk membatalkan ajaran agama terdahulu, melainkan menegaskan kesinambungan ajaran Tuhan (Armstrong, 2004:211), artinya bahwa agama yang satu diturunkan untuk menyambung, menyempurnakan dan memurnikan kembali ajaran yang terdahulu, yang mungkin telah terkontaminasi dengan ideologi pagan atau syirik.  Hal ini memberikan gambaran bahwa Tuhan senantiasa memonitor tindakan manusia hingga pemikiran dan benaknya pun terbaca oleh Tuhan, lalu dimanakah Dia?
Dalam Islam, ada salah satu hadist qudsi yang terkenal yang berbunyi “Sesungguhnya Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk untuk mengenalKu”. Hadist qudsi ini menjelaskan kepada kita bahwa Tuhan telah berada sediakala, dia menciptakan makhluk (manusia) dan memberikan tanda-tanda agar manusia mengetahuiNya ada. Namun mengenal bukan hanya memahami, apakah Tuhan dapat dikenal secara hakiki? AlQur’an “tidak memberikan” jawabannya secara langsung, namun salah satu cabang disiplin ubudiyah dalam Islam mencoba untuk menjawab itu, yakni dengan Tasawuf. Suatu upaya penetrasi ke kedalaman ruang spiritual yang sebenarnya juga terdapat dalam ajaran agama lain dan dikenal dengan praktik mistisisme.
Persoalan “mengenal Tuhan” dalam Islam termasuk wacana berat yang diperbincangkan oleh kalangan para wali. Dan meskipun ajaran agama lain juga menyertakan apa yang Aristoteles sebut pathein, namun sejarah membuktikan bahwa Muhammad SAW dan AlQur’an adalah risalah asli asal Tuhan yang terakhir, dan yang datang setelah Muhammad SAW selalu dapat dibuktikan sebagai nabi palsu; sehingga dapat dipastikan bahwa Islam adalah agama yang menyempurnakan Yahudi, Hanif dan Nasrani atau Kristen, sehingga pula dapat disimpulkan bahwa “KINI” Islam satu-satunya agama yang direkomendasikan oleh Tuhan kepada alam semesta beserta isinya.
Thrupp menggambarkan bahwa pimpinan spiritual dan pemberontakan Taiping, Hung Hsiu Chuan pernah mendeklarasikan kenabiannya pada pengikutnya “Aku telah berhadapan dengan Tuhan dan menerima perintahnya yang penting, kehendak sorga dibebankan ke pundakku, walaupun oleh karena itu aku akan menghadapi bencana, kesukaran dan penderitaan, aku akan beraksi” (Thrupp, 1984:115). Selain Hung Shiu Chuan, masih ada Mirza Ghulam Ahmad, nabinya Ahmadiah, namun mereka tidak dapat membuktikan kenabiannya. Ahmadiah berupaya menciptakan suatu kitab yang disebut Tadzkirah, namun belakangan diketahui “hasil pembajakan AlQur’an”, kemudian di negara kita ada Lia Eden dan Agus Imam Solihin dengan ajaran Satria Pininggit. Sebuah bukti bahwa Tuhan tidak akan menurunkan lagi nabi baru, spirit kenabian Muhammad SAW telah mewakili spirit nabi-nabi sebelumnya, dan telah diwariskan kepada para Waliyullah dan Imam.

Islam memandang Keinsanian Yesus

Agama terdekat sebelum Islam adalah Kristen, yang memaklumi Yesus sebagai anak Tuhan dan AlQur’an menghapus pemahaman ini dengan beberapa ayat AlQur’an (yang dianggap merupakan plagiarisme dari Injil dan penghujatan) yang menerangkan bahwa Allah adalah Tuhan yang Tunggal. Pluralisme ketuhanan dilarang dalam Islam. Islam berinti pada ajaran singularisme ketuhanan. Allah seolah-olah tidak setuju dengan maklumat Kristen yang menafsirkan kata “Anak Tuhan” dalam Injil sebagai “Putra Tuhan” secara generatif. Wahyu atau logos dapat diidentikkan dengan ‘idea’, Yesus dilahirkan secara unik dan dipahami sebagai idea Tuhan yang terealisir sedemikian rupa, sebagai suatu perwujudan Tuhan kepada manusia. Namun ingatlah bahwa dalam Kitab Kejadian, Adam diciptakan bukan hanya tanpa ayah seperti Yesus, namun juga tanpa ibu. Namun anehnya sampai saat ini, respek terhadap Adam tidak lebih dari sekedar “manusia pertama yang bersalah”, tidak pernah ada upaya untuk merumuskan bahwa Adam adalah putra Tuhan.
Islam memandang bahwa hanya ada satu Tuhan yang boleh diakui, yaitu Allah. Sebutan Tuhan hanya untuk Allah. Pengkultusan terhadap Yesus dipandang menyesatkan. Sebenarnya tidak secara keseluruhan umat Kristiani menganggap Yesus sebagai Tuhan, keinsaniannya banyak tergambar oleh Kristiani dalam berbagai karya seni. Misalnya dalam puisi-puisi Conrad Potter Aiken, yang meskipun adalah seorang Kristiani, menggambarkan keinsanian Yesus, tersentuh oleh kematian dan sebagainya.

MIRACLES
By: Conrad Aiken (1889-1973)
Twilight is spacious; near things in it seem far,
And distant things seem near.
Now in the green west hangs a yellow star.
And now across old waters you may hear
The profound gloom of bells among still trees,
Like a rolling of huge boulders beneath seas.
 
Silent as though in evening contemplation
Weaves the bat under the gathering stars.
Silent as dew, we seek new incarnation,
Meditate new avatars.
In a clear dusk like this
Mary climbed up the hill to seek her son,
To lower him down from the cross, and kiss
The mauve wounds, every one.

Men with wings
In the dusk walked softly after her.
She did not see them, but may have felt
The winnowed air around her stir;
She did not see them, but may have known
Why her son's body was light as a little stone.
She may have guessed that other hands were there
Moving the watchful air.
 
Now, unless persuaded by searching music
Which suddenly opens the portals of the mind,
We guess no angels,
And are contented to be blind.
Let us blow silver horns in the twilight,
And lift our hearts to the yellow star in the green,
To find perhaps, if, while the dew is rising,
Clear things may not be seen

Music I Heard
By: Conrad Potter Aiken (1889-1973)
Music I heard with you was more than music,
And bread I broke with you was more than bread;
Now that I am without you, all is desolate;
All that was once so beautiful is dead.

Your hands once touched this table and this silver,
And I have seen your fingers hold this glass.
These things do not remember you, beloved,
And yet your touch upon them will not pass.

For it was in my heart that you moved among them,
And blessed them with your hands and with your eyes;
And in my heart they will remember always,
They knew you once, O beautiful and wise.
Puisi pertamanya diatas (Miracles) tak ubahnya suatu drama yang menceritakan kematian Yesus di tiang salib. Puisi ini selain menjelaskan realitas (Lukas 23), yesus dibawa dan disalibkan, disaksikan oleh ibunya Maria, kemudian penggunaan frase To lower him down from the cross, and kiss; The mauve wounds, every one untuk menggambarkan “keinsanian Yesus” yang masih tersentuh oleh duka nestapa.
Jika memang Yesus adalah titisan sebagaimana yang Aiken gambarkan lewat penggunaan frase silent as a dew, we seek new incarnation, meditate new avatars yang tidak lain menyeru bahwa Yesus adalah “titisan tuhan”, maka Yesus tentu saja tidak layak mendapatkan dera dan duka sebagaimana yang tergambar dalam Injil Lukas pasal 23 dan dalam puisi yang paradoksal ini.
Aiken justru menggambarkan secara jelas “kenabian Yesus” yang aslinya bernama Yoshua itu. Kenabian Yesus menguat dengan penghadiran tokoh malaikat yang datang menjemput nyawa Yesus, digambarkan oleh Aiken dengan kalimat Men with wings, in the dusk walked softly after her. Yang dimaksud dengan Her disini adala ibunya. Para malaikat berjalan dengan lembut dibelakangnya, untuk menjemput nyawa Yesus yang tubuhnya telah diturunkan oleh ibunya dari tiang salib.
Kemudian dalam puisi keduanya, Aiken menuliskan kisah perjamuan dengan murid-muridnya, dimana Yesus dikhianati oleh Yudas. Kalimat kunci yang mencoba untuk memberikan makna “tuhan” kepada Yesus adalah penggambaran bahwa Yesus mampu memberikat berkat kepada manusia lain, yang mana berkat (blessing) itu hanya dapat diberikan oleh Tuhan. Hal ini terlukis lewat penggunaan kalimat And blessed them with your hands and with your eyes.
Bagaimana mengenai Yesus dalam Islam? Tentu saja tidak diragukan jika politheisme seperti doktrin Triitas akan ditolak dan dianggap penghujatan terhadap Allah; karena inti ajaran Islam adalah “Pengesaan Tuhan”. Yesus, menurut Suntani, adalah manusia biasa yang hidup dan dikaruniai predikat rasul dan akhirnya meninggal karena disalib (seluruh nabi hidup dalam tekanan, karena berupaya menyebarkan agama terhadap masyarakat yang mayoritas bersikap barbar dan sebagiannya lagi tengah menyembah dewa-dewa pagan). Bahkan kubur Yesus kini berada di Kashmir, India. Dan bahkan diyakini bahwa ajaran Kristen asli hanya dapat ditemukan di India saja (Suntani, 2001:82).
Di dalam Islam, Yesus atau disebut oleh Isa telah diagungkan oleh Allah sebagai rasulNya, dan ditekankan oleh Allah bahwa Yesus bukanlah titisan Tuhan yang layak mendapatkan predikat putra tuhan. Ibu Yesus, Maria, juga diagungkan oleh Allah sebagai wanita pilihan, hingga ada salah satu nama surah dalam AlQur’an yang menggunakan nama Maryam, untuk mengagungkan ibu Yesus.
Dalam AlQuran surat Maryam (surat ke 19) ayat 19-21 menggambarkan bahwa Allah mengirimkan ruhNya, untuk menemui Maryam dan mengatakan bahwa dia akan diberi seorang anak suci. Maryam kemudian mengkritik ruh tersebut dan berkata bahwa dia bukan seorang wanita jahat dan tidak ada laki-laki yang menyentuhnya. Ruh tersebut kemudian mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah berfirman bahwa hal itu mudah bagiNya, dan apa yang telah Dia lakukan merupakan tanda kekuasaanNya.
AlQur’an menggunakan kata “ruhNya” untuk menggambarkan siapa yang mendatangi Maryam atau Maria. Ruh yang dimaksudkan disini adalah Jibril, malaikat yang diidentifikasi sebagai juru bicara Allah. Perkataan RuhNya atau dalam translasi lain Ruh Kami memaksudkan pesuruh Allah yang tidak memiliki wujud materi, yakni malaikat. Bukan Allah sendiri, melainkan pesuruh Allah, sehingga sangat jelas terlihat keorganisasian kerja Tuhan dalam mengatur hubungannya dengan manusia, dari balik realitas ini.
Pada ayat ke 30 surat Maryam ini, Yesus berkata bahwa “Sesungguhnya aku hanyalah hamba Allah, diberikanNya kepadaku Alkitab (Injil) dan dijadikanNya aku seorang nabi”. Sambungannya pada ayat 31, “dan dijadikanNya aku orang yang diberkati...”, jika Yesus saja membutuhkan berkat agar dapat berguna bagi ummatnya, maka bagaimana bisa dia mampu memberi berkat.
Seolah-olah Allah memonitori segala peristiwa, dengan rentang waktu antara masa Yesus dan Masa Muhammad yang begitu lama, tetapi sampailah kepada Muhammad apa yang dilakukan oleh ummat Yesus setelah Yesus kembali kerahmatullah. Masih dalam surat yang sama, ayat 89-93, Allah menunjukkan kemarahanNya atas pengangkatan Yesus sebagai anakNya. “Sesungguhnya kamu telah datang dengan suatu yang ingkar besar; hampir langit pecah karenanya dan bumi belah dan gunung-gunung pecah belah; oleh karena mereka mengatakan Yang Maha Pengasih mempunyai anak; tiada patut Yang Maha Pengasih mempunyai anak; tak ada tiap-tiap di langit dan di bumi  datang kepada Yang Maha Pengasih menjadi hambaNya”. Alusi atau kiasan yang Allah gunakan (langit pecah, bumi belah dan gunung pecah-belah) menggambarkan betapa laknatnya perbuatan itu sehingga alam pun marah. Ayat tersebut juga sama sekali tidak mengangkat derajat Muhammad SAW, karena bagi Allah segala yang ada di langit dan di bumi datang kepadaNya sebagai hamba, termasuk Muhamad dan Yesus, sebagai bukti bahwa AlQur’an terbebas dari subjektifitas Muhammad.
Nabi Ibrahim (Abraham) yang belakangan diketahui memeluk monoteisme, percaya pada Tuhan Yang Esa, yang agamanya diketahui bernama Hanif, dikisahkan dalam AlQur’an pada surat AlHajj (surat ke 22) ayat 26 “(Ingatlah) ketika Kami tempatkan Ibrahim di tempat Bait (Ka’bah), (firman Kami): Janganlah engkau persekutukan Aku dengan suatu juapun dan bersihkanlah rumahKu untuk oang-orang yang mengelilinginya (thawaf) dan orang-orang yang berdiri, ruku’ lagi sujud”, ayat ini menegaskan bahwa Ibrahim pun ditekankan untuk tidak menyekutukan Allah, mengesakan Dia, bagaimana bisa keturunannya merubah konsepsi ketuhanan yang 3 in 1? Kemudian perintah membersihkan Ka’bah bagi orang-orang yang berdiri, ruku dan sujud akhirnya diidentifikasikan sebagai ibadah shalatnya ummat muslim. Sehingga jika memang demikian, maka nabi Ibrahim pada awalnya sudah menerima Islam, dan ibadahnya, namun nama dan istilah yang digunakan saja yang mungkin berbeda, termasuk juga keturunannya, Musa, Isa atau Yesus dan Muhammad, merupakan suatu ketersinambungan ajaran Tuhan yang satu.

Penetrasi Ruang Spiritual

Baik Ibrahim, Musa, Yesus dan Muhammad, membawakan ajaran mengenai tatakrama hidup dan mati, membawakan risalah mengenai penyembahan terhadap Allah yang satu tanpa tawar menawar lagi. Lalu apakah Allah selamanya merupakan bayang-bayang misterius yang beraktifitas dibalik layar realitas ini? Apakah manusia hanya diberikan izin untuk mengetahui bahwa Dia ada, namun tidak diizinkan untuk bertemu denganNya?
Tentu saja Allah tidak mungkin melakukan hal itu, karena itu adalah salah satu bentuk ketidakadilan yang jauh dari sifat Tuhan. Seluruh manusia tentu dapat memahamiNya, mengenalNya dan bahkan melihatNya dan tak perlu menanti hingga mati. Selama manusia tersebut berada pada rel yang ditentukan.
Sebagaimana yang telah kita bahas bersama, bahwa realitas tuhan itu tak terjangkau oleh logika, dan tuhan itu tidak dapat dipelajari (mathein), namun dialami (pathein). Sebagaimana juga kita ketahui sebelumnya bahwa Trinitas ternyata hanya dapat dipahami lewat pengamalan mistis, begitu juga apa yang dialami oleh Muhammad SAW ketika dia menerima wahyu Tuhan, suatu fenomena spiritual yang membungkam akal, tak ternalarkan, namun dapat terbuktikan dalam tiap pribadi yang memang bersungguh-sungguh mau bertemu dengan Tuhan di ruang yang sudah dipersiapkan, yaitu ruang spiritual.
Tujuan agama Kristen, dan mungkin seluruh agama samawiyah (agama wahyu) adalah untuk membangkitkan kegelisahan spiritual (Thrupp, 1984:118). Ini artinya bahwa agama Allah diturunkan guna membasahi kegersangan spiritualitas manusia, menumbuhkan dan menyuburkan kebutuhan suplemen bathin, membuat manusia senantiasa merasa haus kepada Tuhan. Namun ternyata sebuah kesalahan besar, para pencari Tuhan yangg notabenenya para orientalis barat mencoba menghapus ketakterpuasan spiritual dengan pencarian intelektual. Seperti memancing ikan di hutan. Karena ketidakmampuan dan kesalahjalanan mereka dalam melakukan pencarian Tuhan, yang dikira dapat dijangkau secara materil, maka mereka tersesat dan menuduh bahwa agama hanyalah mitos, padahal mereka membuktikan kebenaran agama tidak pada jalannya, sehingga agama dianggap candu masyarakat bagi Emile Durkheim, kemudian Marxisme memandang agama sebagai suatu ilusi yang bergerak mengelilingi manusia, sepanjang manusia tidak mengitari dirinya sendiri (Fromm, 2004:287).
Yang harus manusia lakukan agar dapat mengalami Tuhan adalah dengan memasuki ruang spiritual. Apakah ruang spiritual itu? Ruang spiritual adalah ruang kontemplasi, menduduki posisi lebih dalam dari pikiran dan hati, hanya bisa dicapai lewat perenungan dan meditasi. Ruang spiritual mungkin dapat diartikan sebagai alam bawah sadar, namun metodologi penetrasi ruang spiritual ini berbeda dengan yang dibicarakan oleh hipnotisme, mengenai alam bawah sadar.
Pertama-tama, manusia harus membentuk suatu paradigma berpikir bahwa dunia ini bersifat fana, termasuk diri sendiri. Secara harafiah, fana berarti lebur, musnah atau raib. Dunia fana artinya dunia yang tidak kekal. Kesadaran ini secara simultan membentuk kesadaran bahwa ada dunia atau ruang dibalik realitas yang bersifat abadi. Dalam bahasa teologisnya “harus meyakini eksistensi alam gaib” terlebih dahulu. Dengan kata lain, sebelum mencicipi kebenaran agama, manusia harus meyakininya terlebih dahulu. Tuhan tidak dapat ditemukan jika persepsi mengenai Dia sudah ditolak, dan bersikap tidak percaya sebelum menemukanNya. Ini suatu kesombongan yang luar biasa, sangat sombong walaupun tidak dapat menjawab dari mana dia berasal, sedang berada dimana dia kini dan akan kemana dia nanti. Kesombongan inilah yang memotivasi logika untuk mengalahkan iman, dan akhirnya tersesat.
Muhammad SAW pernah berkata bahwa “Barang siapa yang rindu bertemu dengan Tuhan maka Tuhanpun rindu bertemu dengannya” (Riwayat Muslim) (Ya’qub, 1992:193). Kita sudah sepakat bahwa Ibrahim, Musa, Yesus dan Muhammad membawa risalah yang sama, untuk memerangi tuhan-tuhan pagan, dan Muhammad SAW adalah nabi terakhir yang menggenapkan ajaran Yesus, sebagaimana Yesus menggenapi ajaran Musa; dan Muhammad SAW-lah yang ditunjuk sebagai nabi terakhir, sekaligus menjelaskan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang direkomendasikan Allah kepada manusia, maka ajarannya-lah yang “KINI” harus diaplikasikan, termasuk untuk bertemu dengan Tuhan Allah sebelum mati. Tentu saja langkah awalnya, kita harus mengesakan Dia, kemudian meyakini Dia dan merindukan Dia.
Sejenak saya akan mengajak anda untuk mengkritisi Martin Heidegger, sekaligus menyalutinya, dia beranggapan bahwa kita ada di dalam dunia (in der welt sein) terlempar begitu saja. Ini adalah suatu penghapusan Tuhan, dia tidak memahami asal usul keberadaannya, dia tidak mau mematuhi ajaran agama dan menolak iman sebagai landasan. Anehnya dia mencontohkan “seperti buah dadu yang dilemparkan diatas meja begitu saja” (Abidin, 2006:177), tentu saja buah dadu itu “Ada yang melemparkannya”. Jangankan ada yang melemparkanya, buah dadu itu ada yang membuatnya, kemudian ada fungsinya dan dilemparkan di atas meja judi ada tujuannya juga. Dia juga mengatakan bahwa manusia senantiasa berada dalam proses menjadi (Hardiman, 2003:69), memang benar dan segala sesuatu senantiasa berada dalam proses menjadi, namun tidak menjadi sesuatu. Manusia senantiasa mengalami proses, berkembang dan menghancur, baik dari segi fisik, maupun dari segi mental. Karena proses menghancur ini begitu pelan dan terkesan semu, maka manusia tidak memperdulikannya. Namun ketika dalam kondisi hati tertentu, dan terutama cemas, disitulah, menurut Heidegger, manusia kembali merenungi dirinya, keberadaannya di dunia dan menuju kematian. Manusia merasa cemas karena memikirkan kebebasannya yang terenggut; kebebasannya untuk hidup, kebebasannya untuk bahagia, sehingga kecemasan itu berjasa dalam menyingkapkan bahwa kita Ada. Namun cara menyikapi keberadaan kita ini berbeda, antara Heidegger dan Kierkegaard misalnya, Kierkegaard mengatasi kecemasan ini dengan melompat ke dalam iman (Hardiman, 2003:78).
Disini ada persamaan antara kecemasan (angst) menurut Heidegger dan kegelisahan menurut Thrupp. Agama diturunkan untuk menghadirkan kegelisahan spiritual, dan Heidegger bermaskud bahwa kecemasan itulah menyebabkan kita sadar bahwa kita ada. Segaris dengan ini, dapat dikatakan bahwa agama mengajarkan bahwa kita Ada, dan jika kita Ada berarti Tuhan pun ada. Kerinduan yang dikatakan Muhammad beberapa belas abad yang lalu, termasuk juga ke dalam bagian Kecemasan dan Kegelisahan ini, bukankah seseorang yang merindu akan merasa gelisah? Kerinduan terhadap Tuhan menghadirkan kegelisahan dan kecemasan, kita cemas tidak bertemu denganNya, kita gelisah dan takut kehilanganNya dan kecemasan dan kegelisahan ini mengungkapkan kepada kita bahwa kita dan Dia saling memiliki; Ada dan dekat.
Kecemasan, kegelisahan, bukanlah fenomena pikiran. Namun fenomena jiwa, psikis, mental dan spiritual. Sehingga dalam mengatasinya, rasionalisasi bukanlah cara yang tepat, bahkan hanya mengaburkan makna sejatinya saja.
Mengenal Tuhan, memahami karena mengalaminya, bukan suatu hal yang mustahil. Ghazali pernah mengatakan bahwa pengetahuan mengenal Allah (yang diperoleh dari makrifat) lebih tinggi mutunya dibandingkan dengan pengetahuan yang diperoleh dengan akal (Zahri, 1985:229), dan untuk mencapai ini, manusia harus melaksanakan serangkaian aktifitas spiritual, dengan kata lain, harus menjalankan mistisisme (banyak orang salah mengartikan kata “mistik”. Mistik sebenarnya adalah proses “penyatuan” Tuhan dan Hamba).
Pada tahun 700-an, banyak hidup para mistikus dan berhasil menemukan Tuhan dengan mistik. Para mistikus ini merindukan pengalaman tentang Tuhan yang sama dengan yang pernah dialami oleh Muhammad SAW ketika menerima wahyu (Armstrong, 2003:301).
Menurut para mistikus, Tuhan malahan berada jauh di dalam sanubari, sehingga untuk bertemu dengannya, manusia harus mengasah mata batinnya dan kontemplasi hingga titik terdalam, hingga memasuki ruang spiritual dan mengalami Tuhan tanpa harus menerima wahyu, tanpa harus menjadi nabi atau rasul. Segaris dengan ini, Descartes berkata bahwa memang akal dan pengalamanlah yang menjadi pokok segala pengetahuan untuk mengenal Tuhan, dan ia telah mendapatkan jalan. Maka jalan untuk mencapai kenyartaan Tuhan itu, seseorang harus lebih dahulu “melepaskan diri dari tubuhnya”, kemudian mencari kebenaran di dalam lautan diri terlepas dari jasmani. Pada diri saya ada perasaan yang telah tertanam bahwa adanya suatu Zat yang sempurna (Zahri, 1985:61) dan hal ini sejurus dengan apa yang diajarkan oleh Platonis dan Gnostis di jaman dahulu.
Melepaskan diri dari tubuh artinya mengalami apa yang disebut dengan Fana’, keadaan peniadaan diri, yang menjadi sesuatu yang amat sentral bagi cita-cita sufi atau mistikus (Armstrong, 2003:302). Ketika seseorang mengalami Fana, dia merasa bahwa dirinya lebur dan menyatu dengan apa yang dia cari, dia merasa ketiadaan dirinya dan menyatakan keadaan Tuhan. Jika seseorang telah mengalami “mabuk” mistis, maka kata-kata yang keluar dari lidahnya pun adalah perkataan Tuhan, dan ini dikenal dengan Kalam Qadim. Taraf ini memang tidak dapa dicapai oleh sembarang tipe pencari Tuhan. Misalnya seperti Al-Hallaj yang telah mengalami penyatuan dengan Tuhan, yang adalah akar cita-cita tauhid di dalam AlQur’an, pernah berpuisi
“Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku
Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh.
Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia
Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat kami”.
Ini tentu saja hasil pengalaman mistik, penyatuan diri dengan Tuhan, dimana Armstrong berupaya untuk menjelaskannya “mengumpulkan dirinya yang menghilang, seorang mistikus akan mengalami kehadiran Tuhan dalam keutuhan pribadi (Armstrong, 2003:304).
Alhasil, Tuhan memang tidak dapat dijangkau dengan logika. Logika hanya mampu menangkap fenomena aktifitas Tuhan, namun untuk memahaminya, manusia harus mengalaminya (pathein) secara subjektif dan Tuhan adalah realitas yang tidak dapat dijangkau secara objektif.
Pengalaman mistis merupakan pengalaman merasakan hadirnya Tuhan beserta dan menyatu dalam kepribadian yang utuh, sehingga degan demikian, keyakinan mengenai Tuhan yang ada tidak lagi menjadi suatu misteri. Hanya para pencari tuhan yang mengandalkan logikanya saja yang gagal dan terjembab dalam kesesatan, menjadi manusia tak bertuhan dan serupa dengan para barbarian yang belum pernah dihampiri para nabi.
Demikian risalah ini, sebagai penutup, kami menyampaikan ungkapan terima kasih dan syukur yang sebesar-besarnya kepada Tuhan yang telah mengilhami kami dalam menyusun risalah ini, semoga risalah ini bermanfaat bagi kita sekalian.
Kalimat terakhir, Tuhan hanya dapat ditemui di dalam Ruang spiritual yang suci dan transenden, dan tidak mungkin dicapai oleh logika yang senantiasa mendistorsi makna realitas.